Rokok dan kesehatan

Khusus dewasa…,

Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kerusakan merokok dapat pula dinyatakan tidak lebih besar dari kerusakan makan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi dan berisiko tinggi pula. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat… jadi kenapa tidak diberi gambar2 ngeri juga di buah durian?, atau gula?, atau nasi?… ~ by Rokoknya Nusantara. 

Persetujuan ini atas pernyataan diatas karena seringnya seorang perokok dicap sebagai seorang yang melakukan sebuah kejahatan besar yang harus diburu dan dibasmi dalam kemasyarakatan kita yang masih miskin ini, dibandingkan orang yang “sehat” (dan kaya) tetapi stress karena kekosongan jiwanya akibat tidak bisa menikmati kenikmatan seorang perokok. 

Lebih jauh tentu saja kritik yang keras ketika seorang perokok juga melakukannya tanpa etika tanpa menghiraukan orang2 disekitarnya terutama anak2. 

Rivan Biya

Fenomenologi, Islam, Mayoritas dan Minoritas

Fenomenologi adalah suatu usaha dalam memahami realitas atau fenomena sejujur mungkin. Usaha ini tergantung pada sejauh mana kita bisa ‘menaruh sementara’ atas keyakinan kita sebelum menilai atau menafsirkan suatu fenomena. Sebab umumnya kita sangat mudah menghakimi suatu fenomena sebelum fenomena tersebut menampakkan secara keseluruhan kepada kita.

Fenomenologi adalah usaha melihat suatu fenomena seadanya dan apa adanya, tanpa ada hal yang baru yang kita berikan terhadap fenomena tersebut, baik itu berupa penyifatan atau pun penafsiran. Langkah awal kita adalah hanya membiarkan diri kita hadir dalam fenomena tersebut sejujur mungkin agar bisa memahaminya sebagaimana adanya dan sebagaimana mestinya sejujur mungkin.

Bagaimana jika fenomenologi menjadi metode analisa dalam melihat fenomena keberagamaan dan esensi keberislaman? Apakah masih selaras antara keberagamaan dengan esensi keberislaman? atau masuk kepada pertanyaan yang lebih mendasar lagi, apakah saat ini kita masih bisa menganggap rahmatan lil’alamin sebagai salah satu esensi utama ajaran islam?


Tak mudah menjawab pertanyaan diatas dan sangat susah saat ini kita menganggap Islam sebagai rahmatan lil’alamin atau rahmat bagi seluruh ummat manusia apalagi rahmat bagi seluruh alam semesta, jika kita melihatnya melalui pendekatan fenomenologi. Jika kita jujur terhadap diri kita sendiri dan melihat fakta keberagamaan dan keberislaman kita akhir-akhir ini. Bukankah demikian? Bukankah kita sebagai ummat mayoritas selalu saja berlaku tidak adil terhadap golongan minoritas karena cendrung membiarkan ketidakadilan itu terjadi terhadap mereka?

Apakah kita sebagai kaum mayoritas akan menutup mata bahwa diluar sana ada sebagian kelompok yang berbeda dengan kita dan tidak sepaham dengan kita? Apakah karena kita mayoritas berarti kita berhak melakukan apa saja meskipun tidak sesuai undang-undang yang kita yakini bersama sebagai nilai yang mempersatukan kita hidup di Indonesia ini dengan keragaman budaya dan keyakinan?

Apakah maksud bahwa Islam sebagai rahmat bagi seluruh ummat manusia bahwa mereka yang berbeda dengan kita harus ‘dipaksa’ mengikuti keinginan mayoritas hanya karena kita mayoritas meskipun tidak sesuai dengan undang-undang kewarnegaraan kita? Bukankah setiap warga negara berhak mendapatkan hak yang sama selama ia sebagai warga negara Indonesia yang kita cintai?

Apakah Allah swt yang kita yakini dalam Islam bahwa Allah swt membenarkan dan menyetuji ketidakadilan yang kita lakukan terhadap kelompok-kelompok minoritas? Apakah Rasulullah saw dengan akhlaknya yang begitu mulia juga merestui cara-cara tidak adil atas kaum minoritas? Apakah ini yang kita sebut sebagai rahmatan lil’alamin?

Apakah ini hanya persoalan mayoritas dan minoritas sehingga jika kita pun berada di suatu tempat dimana ummat muslim sebagai minoritas harus menerima perlakuan yang sama dan menerima perlakuan yang tidak adil pula?

Saya tak perlu menjawab satu persatu pertanyaan diatas sebab kita tahu jawabannya. Sebab kita tahu bahwa Allah swt Maha-Adil, Maha-Pemurah, Maha-Penyayang, Maha-Bijaksana, dan sifat-sifat lainnya yang tak terbatas. Juga sebab kita tahu bagaimana akhlak Rasulullah saw bagaimana memperlakukan kaum minoritas.


Sebab itu kita butuh pendekatan baru dalam memahami Islam dan cara keberislaman kita. Islam yang bergerak menuju masa depan, bukan Islam yang bergerak kebelakang. Islam yang menatap masa depan dan menyongsong peradaban baru. Islam dengan tatanan baru yang mampu menerima kebaruan dan kekinian yang senantiasa bergerak maju. Islam ini adalah Islam Tafakkur sebab Islam Cinta hanya bisa mengobati masa kini atau yang sedang berlangsung, namun tak memberikan jawaban atas masa depan.

Diambil dr tulisan guru Muhammad Nur Jabir yang judul aslinya adalah Islam Tafakkur vs Islam Cinta (Bag 1)

People don’t underperform because of their lack of experience (how long they’ve been work;Rivan); they underperform because of their lack of soft skills (knowledge;Rivan) ~ Stephan Groschupf

5 Question to assessment it (the knowledge):
1. Can you describe a time when you suddenly changed a job or situation?
2. Could you tell me about a time when a professional crisis made what you’d been working on obsolete or ineffective?
3. Can you recall an instance when you had a professional problem and did not know what to do?
4. Can you explain how your work habits change when you don’t know exactly what to do
5. Would you be willing to tell me about a time when you had more to do that you could possibly get done.
More to this :

“Experience is the knowledge that have been used”. ~ Imam Ali as.

So meaning exeperience by Stephan G. is different with experience that mean by Imam Ali.